Upaya: Mawa Bewa agar Basuki

Kalau Anda disuruh memilih, Anda lebih memilih berperang melawan musuh yang kelihatan atau musuh yang tidak kelihatan. Yang kasat mata atau yang tidak kasat mata? Apabila musuh itu terlihat pastilah lebih mudah dan bisa dipelajari pola strategi dan bagaimana pergerakan lawan atau itu musuh, sehingga bisa dihitung: bagaimana cara melawannya, menyusun strategi perangnya dan menghitung pula kemungkinan terburuk yang kiranya akan menimpa.
Sangat “naas” kiranya kalau hendak perang tapi tidak punya bekal sama sekali dan buta terhadap siapa musuh dan bagaimana strategi perang yang disusunnnya. Alih-alih bisa menang, melempar batu saja hanya angin yang terkena. Bukan begitu, Kang Guru? 
Dunia yang kemarin gempar dengan tagar #WW3 atau perang dunia ke-3 yang dipicu oleh konflik Iran dan Amerika beberapa waktu bulan lalu, setelah terbunuhnya Perwira Tinggi Iran, Qassem Soleimani lewat serangan dari drone yang diterbangkan oleh Amerika. Yang akhirnya segera setelah Pentagon mengkonfirmasi otorisasi serangan langsung dari Presiden AS kemudian mengalami pemakzulan di Kongres, Donal Trump kala itu, yang sontak dunia maya seketika ramai dengan trending topic bertagar “Perang Dunia III”.
Andaikan memang Perang Dunia III itu sampai terjadi, kemudian senjata andalan nuklir dari kedua belah pihak ditembak terbangkan dan bertemu di udara, misalnya, pasti dukhon akan segera terjadi dan dunia akan gelap seketika yang lama waktunya kurang lebih selama setengah tahun. Bisa Anda bayangkan dampak apa yang akan terjadi dalam masa itu, bukan? Saya yakin teknologi dan arus informasi sudah tidak akan lagi berjalan, walau satu jengkal sekalipun. Bahkan teknologi sudah lenyap duluan.
Namun agaknya otoritas dunia menunda atau sengaja bernegosiasi mengadakan penundaan perang fisik itu. Dengan menggantinya melaui model perang non-fisik atau nir-fisik.
Berselang lama setelah itu kemudian muncul wabah yang dampaknya tidak bisa dipandang sebelah mata tragedi beserta korbannya. Dunia berganti berperang melawan makhluk tak kasat mata bernama coronavirus atau lebih populernya Covid-19.

Dan ternyata perang melawan makhluk tak kasat ini, yang permunculannya masih menjadi rahasia atau misteri di kalangan mata negara-negara dunia. Ada yang menyebutkan dari Wuhan yang memang sengaja disebarkan Amerika, ada yang mengatakan dari binatang yang memang tak layak dikonsumsi manusia, seperti kelelawar, katak, tikus dan sejenisnya. Ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah rekayasa agen biologis dari pihak elite global dunia untuk menciptakan “New Jersey” ataupun guna merealisasikan “New World Order”. Di mana sebagian besar populasi manusia harus dikurangi, seperti yang dulu pernah Bill Gates katakan.
Sang Pendiri Microsoft juga sudah memprediksi atau meramalkan perkenanaan adanya wabah virus ini di tahun 2015 lalu. Dengan kata lain, bahwa bencana besar yang akan menyerang manusia dan mungkin akan membunuh lebih dari 10 juta populasi manusia dalam beberapa dekade mendatang, kemungkinan besarnya bukanlah perang dengan senjata ataupun nuklir melainkan virus yang akan mewabah dan sangat menular.
Juga ada yang mengatakan, menurut pengamat Intelejen Marsda Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, yang panjang lebar menggambarkan bahwa virus ini hanyalah ouput dari suatu dialektika, kompetisi atau persaingan antara dua adikuasa dunia. Juga ada sejumlah yang mengatakan, intinya coronavirus ini adalah produk dari suatu agenda besar dunia yang memang sudah direncakan jauh-jauh hari, meskipun multi-efeknya tetap tidak akan sama persis seperti apa yang telah diperhitungkan sebelumnya. Di mana makhluk kecil tak kasat ini dijadikan senjata “bio-war”. Jadi, ini seperti sebuah perang biologis yang akan berdampak langsung ke seluruh penjuru dunia. Bisa dilihat bukan, apa yang terjadi sekarang ini?
Namun terlepas dari itu semua, bahwa itu adalah sebuah konspirasi dunia yang sangat sulit untuk diketahui oleh pikiran-pikiran awam atau memang wabah sebagaimana penyakit biasanya atau apa yang lain. Pada akhirnya itu telah membuka mata kita bahwa perang melawan musuh yang tak terlihat, seperti makhluk tak kasat covid-19 ini, justru sangat sulit melawannya. Sulit sekali untuk dideteksi pola pergerakan dan cara untuk melumpuhkannya. Meski studi terus berlangsung dan sudah ada upaya-upaya ilmiah-medis yang dilaksanakan, tetap saja ini masih mengkhawatirkan dan belum cukup membuat hati tenang.
Saya kemarin membaca sebuah tulisan, berkaitan dengan alat yang bernama Reagent, yakni mesin pemeriksa ketertularan Covid-19 pada setiap orang secara real-time. Reagent ini ibarat peluru. Yang mana orang yang menyebut alat bernama Reagent ini, juga telah melihat dengan analisisnya adanya sebuah langkah yang dilakukan dari pihak berwenang kita yang seharusnya bisa dilakukan tapi tidak dilakukan, atau yang mestinya tidak dilakukan tetapi malah dilakukan. Maka tentu ini ada ketimpangan dalam sebuah pengambilan tindakan. Dengan kata lain, bisa dikatakan juga kita atau terutama yang berdiri di garis depan melawan coronavirus ini sebagai prajurit perang seperti tak punya kelengkapan senjata dan kekurangan amunisi, bahkan buruknya mereka buta terhadap lawan atau musuh yang sedang dihadapinya, sebab tidak ada semacam alat untuk mendekteksi musuh di depannya, padahal pihak musuh sangat mampu dengan jelas melihat kita dan bahkan juga leluasa hinggap di tubuh kita. Meskipun itu, kita juga harus tetap optimis dan bahu-membahu untuk terus memberikan dukungan kepada mereka dengan berbagai macam cara yang telah disediakan dan dianjurkan sesuai kemampuan dan batas jangkauan kita.

Jika memang agaknya ketimpangan seperti terus berlanjut, sekiranya kita akan teringat akan sebuah teori yang mungkin juga sudah banyak disimulasikan yang menjadi salah satu skenario, yakni: Dibiarkan saja semua orang terkena atau terjangkit, sehingga Covid-19 ini leluasa melompat-lompat ke setiap orang, khususnya yang berdiri di garis terdepan penanganan. Kemudian semua menjadi terjangkit, maka akan diasumsikan dalam sebuah hipotesa yang meninggal akan di bawah 10%. Sisanya 90% akan tetap hidup dengan kesaktian baru atau imunitas tubuh yang baru. Sehingga lambat laun wabah ini bisa meredup dengan sendirinya. Yang istilah itu dinamakan lazimnya dengan “herd immuntiy”.
Tetapi tetap ini bukan tidak akan mengandung resiko, kalau dalam istilah jawa ini namanya “Jer Basuki Mawa Bea”. Basuki-nya adalah semakin sakti dan imunnya tubuh rakyat Indonesia secara mayoritas, sedangkan Mawa Bea-nya adalah yang tua-tua, yang lemah-lemah, yang sudah punya riwayat penyakit lama akan berhijrah ke Alam Barzakh, bertemu Munkar dan Nakir. Dan ini merupakan bentuk selesksi alam, yang memang sudah sering terjadi dan akan selalu berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia.
Benar bukan bahwa pasti semua akan ada resiko atau konsekuensi dari setiap apa pun saja tindakan yang kita ambil? Tetapi memilih ringan dan meminimalisir sedemikian rupa kerugian yang akan diterima adalah pertimbangan yang harus dipilih dan utama diupayakan.
Saya optimis wabah ini segera berlalu, melihat segala upaya yang sekarang ini sudah dilakukan. Semua kalangan sudah bahu-membahu berupaya dengan maksimal. Selain upaya “horizontal” ilmiah-praktis beserta juga upaya-upaya medis yang dilakukan. Ada juga upaya “vertikal” yang sifatnya ghaib-spiritual dari berbagai kalangan rohaniah yang sudah mulai dilakukan.
Bagi saya ini agaknya sudah lebih menentramkan meskipun belum sepenuhnya dan agak kurang terima, sembari tetap waspada juga tentunya dan selalu menjaga kesehatan. Bagaimana dengan Anda...[]

Karya : Ahmad Miftahudin Tohari
Mahasiswa Filsafat IAIN Surakarta

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SKISMA SANTRI ABANGAN

Diskusi Online "Islam Progresif Memaknai Multireligius Di Era Post-Truth"