Intelektual Arab Abdullah Laroui


Intelektual arab asal Maghrib dalam bukunya The crisis of Arab Intellectuals bahwa Dengan mewaspadai akan bangkitnya gerakan tradisionalisme dalam bentuk fundamentalisme islam utamanya dalam pemikiran arab kontemporer, Laroui pada saat yang sama optimis bahwa telah lahir gerakan intelektual baru dalam menghadapi krisis difitisme 1967 yang disebutnya sebagai the second Nahdah. Hal ini berarti bahwa 
pemikiran arab sedang menghadapi era kebangkitan kedua ini sebenarnya telah diawali pada tahun 1963-1965 masehi yang disebut dengan era Nasser dan berkembang menjadi sangat matang sejak tahun 1970-an sampai sekarag setelah masa percobaan Nasserisme menemui kegagalan. empat periode sejarah pemikiran intelektual Arab dengan menambahkan periode 1967 ke
atas sebagai era baru kebangkitan intelektual Arab, yaitu pertama, Nahdah periode
renaissance kultural Arab terbesar, diawal pada abad ke19 (1850 Masehi sampai tahun 1914 Masehi) kedua, periode di antara dua perang dunia I dan II sampai pada pertengahan tahun 1950 an, ditandai oleh perkembangan pemikiran yang memainkan peranan utama dalam Dengan mewaspadai akan bangkitnya gerakan tradisionalisme dalam bentuk fundamentalisme islam utamanya dalam pemikiran arab kontemporer, Laroui pada saat yang sama optimis bahwa telah lahir gerakan intelektual baru dalam menghadapi krisis difitisme 1967 yang disebutnya sebagai the second Nahdah. Hal ini berarti bahwa pemikiran arab sedang menghadapi era kebangkitan kedua ini sebenarnya telah diawali pada tahun 1963-1965 masehi yang disebut dengan era Nasser dan berkembang menjadi sangat matang sejak tahun 1970-an sampai sekarag setelah masa percobaan Nasserisme menemui kegagalan. Setiap gerakan sosial utamanya gerakan nasionalis. Ketiga, periode masa percobaannasionalisme arab dibawah payung ideologi persatuan Nasser dan Partai Ba’ath setelah perang dunia II sampai pada perang Arab-Israel 1967. Keempat, periode krisis moral jugapolitik pasca kekalahan perang 1967 yang kemudian disebut sebagai the second nahdahmerupakan kebangkitan Intelektual Arab kedua.
Dengan mewaspadai akan bangkitnya gerakan tradisionalisme dalam bentuk fundamentalisme islam utamanya dalam pemikiran arab kontemporer, Laroui pada saat yang sama optimis bahwa telah lahir gerakan intelektual baru dalam menghadapi krisis difitisme 1967 yang disebutnya sebagai the second Nahdah. Hal ini berarti bahwa 
pemikiran arab sedang menghadapi era kebangkitan kedua ini sebenarnya telah diawali pada tahun 1963-1965 masehi yang disebut dengan era Nasser dan berkembang menjadi sangat matang sejak tahun 1970-an sampai sekarag setelah masa percobaan Nasserisme menemui kegagalan.
Meskipun kekalahan perang arab israel 1967 ini lebih dirasakan oleh intelektual Masyraiq (Arab-Timur)seperti Mesir utamanya, Syiria, dan juga Libanon, tetapi refleksi atas kekalahan tersebut ikut diramaikan oleh intelektual arab dari wilayah Maghrib seperti 
Maroko dan Al-jazair. Refleksi tersebut juga menandai lahirnya tren baru intelektual arab 
kontemporer dari Maghrib.Sharabi mencatat bahwa gerakan yang muncul di Maghrib ini 
menerima gagasan filsafat dan epistemologi baru dari barat, utamanya Perancis.
Maghrib menjadi posisi yang sangat penting dalam hal menerima gerakan atau tren 
intelektual dan kultural dari timur dan Mesir utamanya sejak era pertama Nahdah, akan 
tetapi posisi sebagai penerima ini mulai bergeser dan berubah menjadi producer bahkan scender pemikiran-pemikiran yang tak kalah hebatnya dari Masyriq, maka otomatis masyriq mulai menerima dan mengakui produk baru pemikiran progresif ini. Perubahan posisi demikian dimulai pada pertengahan tahun 1980-an dan ada satu alasan penting sebagai latar belakangnya yaitu adanya expension of change pemikiran antara masyriq dan maghrib.
Wacana keseimbangan antara intelektual Masriq dan Maghrib diatas didukung oleh tiga 
faktor utamanya yaitu, pertama majalah intelektual yang dipublikasikan di masryiq mulai terhubung dengan produk-produk pemikiran intelektual maghrib. kedua, adanya aktifitas istitusi dan organisasi inter-arab dalam mengorgsnisir simposium dan konferensi ilmiah. ketiga, adanya peranan gates of paris.
Kesimpulan
Wilayah Maghrib menjadi posisi yang sangat penting dalam hal menerima gerakan atau 
tren intelektual dan kultural dari timur dan Mesir utamanya sejak era pertama Nahdah. Sebagai pendukung modernisasi yanghebat, pemikiran filsafatnya didasarkan pada hal-hal penting yang sangat dibutuhkan masyarakat Arab saat itu. Menurut pandangannya, modernisasi hnya bisa dicapai dengan mengganti nalar dan metodologi tradisional Arab dengan metode kontemporer seperi rasionalisme, kritisisme, dan sekularisme. Wacana keseimbangan antara intelektual 
Masriq dan Maghrib diatas didukung oleh tiga faktor.

Karya; Nurhanipah Harahap
Mahasiswa Filsafat Iain Surakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SKISMA SANTRI ABANGAN

Diskusi Online "Islam Progresif Memaknai Multireligius Di Era Post-Truth"