Toleransi di Era Post - Modern

Berkaitan dengan keberagaman dalam beragama pada zaman post – modern di 
Indonesia sekarang, tentu kita selalu disuguh kan dengan isu tahunan yang berkaitan tentang toleransi. Banyak sekali pendapat tentang apa itu toleransi dalam beragama, sehingga menyebabkan isu ini sebagai isu tahunan atau pada saat hari raya atau peringatan khusus dari agama tertentu. Masih banyak orang yang mempermasalahkan tentang hal ini, meskipun kita berada di negara yang katanya paling toleran karena memiliki ragam budaya yang banyak, 
padahal sejatinya isu toleransi ini sudah cukup diperdebatkan. Kasus – kasus seperti ini lah yang menarik untuk dibahas, apa dan bagaimana hakikat toleransi itu.
Di zaman yang serba cepat dan instan ini banyak sekali isu – isu yang beredar tentang 
toleransi dalam beragama, Dengan kecanggihan teknologi zaman sekarang kita sulit membedakan berita yang asli atau yang hoax, Simulacra semacam ini lah yang dapat memecah belah keberagaman dan mengungkit – ungkit perbedaan dengan argument utama yaitu toleransi. 
Pada hakikatnya toleransi adalah menerima perbedaan dan tidak memaksa suatu kaum untuk melakukan hal tertentu yang tidak menjadi kewajibannya. Permasalahan yang kita hadapi sekarang adalah, kesalahan berpikir masyarakat dalam menerjemahkan arti toleransi, banyak yang menganggap bahwa toleransi ialah melakukan hal yang bukan kewajibannya atas dasar keberagaman dan toleransi, semisal orang hindu mengucapkan selamat hari natal kepada 
orang kristen atas dasar keberagaman dan takut di cap intoleran oleh masyarakat. Padahal sejatinya inti dari toleransi ialah tidak adanya pemaksaan dan menghargai kegiatan orang lain. Di dalam agama islam pun sudah jelas mengenai arti toleransi, “Lakum Dii Nukum Waa Liya Diin” , dan dengan tegas untuk menolak segala tradisi agama lain. Karena menurut saya, segala hal yang sudah menyangkut tentang aqidah sudah tidak bisa di ganggu – gugat. Apapun alasannya jelas menyalahi aqidah, dan secara tidak langsung orang yang merayakan atau melakukan kegiatan keagaman agama lain sudah mengikrarkan kekafirannya sendiri, dan harus bertobat dan menyatakan syahadat lagi. Meskipun ini hal yang sensitifi di negara ini namun menurut saya jika sudah menyangkut tentang aqidah, kita harus tegas untuk menolak. 
Hal seperti ini lah yang sering disebut dengan intoleran dan tidak pluralis karena dianggap 
tidak menghargai perbedaan yang ada, dan memaksa orang untuk melakukan hal yang di luar kewajiban kita sebagai seorang yang beriman kepada satu Tuhan. Contoh kasus yang sering kita jumpai di masyarakat ialah sebuah perusahaan mewajibkan karyawannya yang beragama muslim untuk menggunakan atribut hari raya natal, dengan ancaman pemotongan gaji atau bahkan pemecatan jika tidak melaksanakan. Banyak sekali perdebatan tentang kasus ini, ada yang menganggap itu bagian dari sebuah toleransi dan menjadi hal biasa, ada juga yang 
menganggap hal itu merupakan sebuah hal yang menciderai toleransi. Menurut saya kasus semacam ini merupakan bagian dari eksploitasi dan pemaksaan terhadap buruh oleh atasannya, dan hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap toleransi. Seharusnya kita selalu berpegang teguh kepada iman kita, tidak perlu takut dipecat karena Allah lah yang mengatur rezeki kita. Sebenarnya jika kita berbicara mengenai pemaksaan dengan kedok toleransi 
sangatlah menggelikan, mamaksa kaum minoritas untuk menuruti kehendak mayoritas saja tidak boleh, apalagi sebaliknya, memaksa kaum mayoritas untuk menuruti kehendak minoritas. 
Sebuah adegan komedi nyata yang di pertontonkan di negara yang katanya negara paling toleransi ini, dan seharusnya perselisihan tentang toleransi ini sudah selesai untuk diperdebatkan.
Di kampung saya kehidupan beragama dalam bermasyarakat sungguh rukun sekali, tidak 
pernah saling memaksa untuk melakukan kegiatan ibadah tertentu, malah kita saling 
mengayomi. Jika orang non – muslim memiliki hajatan berupa pernikahan atau sebagainya, 
kita orang muslim juga turut di undang dalam acara tersebut, kadang kala sering membagikan hadia atau makanan jika berlebih. Begitu pula sebaliknya, kita orang muslim juga sering berbagi kepada mereka, tidak akan pandang bulu kecuali sudah menyinggung aqidah. Jika ada kegiatan keagamaan dari non – muslim, kita sebagai muslim turut menghargai dengan tidak 
melakukan hal yang memicu keributan. Begitu juga sebaliknya, pada saat orang muslim 
menunaikan ibadah puasa, orang non – muslim dengan rendah hati menghargai ibadah yang di lakukan oleh orang muslim, denagn contoh tidak membuka warung makan saat siang hari, atau setidaknya menutup warung tersebut dengan kain agar tak nampak orang yang sedang makan, 
tanpa adanya sebuah paksaan untuk melakukan hal tersebut. Ini lah contoh toleransi yang sebenarnya, tidak memaksa dan lebih sadar diri, dan kekeliruan yang ada ini lah yang seharusnya di lurus kan kembali agar tidak ada lagi kesalah pahaman tentang makna toleransi.
Ditambah berbagai macam berita hoax yang menghiasi segala sudut lini berita dan 
platform media sosial, hoax ini lah sebenarnya salah satu penyebab utama atas segala 
kegaduhan masalah tentang toleransi, sumber – sumber yang tidak terpercaya yang selalu 
menggembor – ngemborkan berita yang palsu atau bahkan memalsukan berita yang seharusnya benar, apalagi krisis budaya literasi yang menjangkit masyarakat Indonesia sehingga apapun berita atau isu yang muncul langsung ditelan mentah – mentah tanpa adanya riset atau minimal mencari kebenaran tentang isu tersebut. Seharusnya ada upaya untuk menangkal penyebaran berita hoax ini, atau minimal kita sendiri yang lebih aktif untuk tidak menelan mentah – mentah 
segala sesuatu, apalagi hal yang bersifat sensitif seperti isu toleransi. Pengembangan minat baca sangat penting diterapkan agar orang lebih bisa membaca dan mencari tau kebenaran tentang isu yang beredar, dan agar tidak langsung percaya apalagi tersulut emosi atas isu hoax yang tersebar. 
Sifat konsumerisme ini lah yang menjangkit para pengguna media social saat ini, masyarakat konsumerisme ini lah yang lebih mementingkan ketenaran dibanding hakikat 
dan tujuan yang sebenarnya. Banyak penyebar hoax yang hanya menginginkan ketenaran, dengan menyinggung isu sensitif dan membuat seakan – akan menjadi nyata, orang seperti inilah yang sebenarnya menjadi problem utama dari permasalahan keberagaman, dan juga sumber pemecah – belah persatuan. Dan masyarakat yang minim pengetahuan lah yang menjadi korban atas isu hoax yang disebarkann oleh para mafia tersebut. 
Dengan demikian, penting bagi kita untuk mengetahui apa itu hakikat tentang toleransi 
dan meningkatkan kualitas literasi kita, agar kedepannya kita tidak gampang di giring opininya oleh mafia konsumerisme penyebar hoax yang haus akan ketenaran dan kekuasaan. Dan juga lebih bijaksana menanggapi isu yang sedang berkembang tanpa adanya penggalian informasi 
yang lebih lanjut, dan juga lebih bijaksana untuk menggunakan media sosial yang pada 
dasarnya sekarang sebagai sumber utama hoax terbesar saat ini, agar tidak terjerumus di lingkaran hoax yang sengaja dikembangkan oleh para mafia hoax, dan solusi terbaik dari 
masalah hoax di media sosial adalah pembatasan pemakaian media sosial untuk berjaga – jaga dengan adanya isu hoax yang tersebar. 
Dan untuk isu toleransi, menurut saya kita memang harus berpegang teguh terhadap iman kita karena sekali kita melakukan hal di luar kewajiban kita, secara otomatis kita telah 
mengeluarkan diri dari agama Islam, dan harus segera ber taubat dan melakukan syahadat kembali.
Karya : Muhamad Arya Pradana
Mahasiswa Filsafat Iain Surakarta

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SKISMA SANTRI ABANGAN

Diskusi Online "Islam Progresif Memaknai Multireligius Di Era Post-Truth"