SKISMA SANTRI ABANGAN

SKISMA SANTRI ABANGAN

Mistik kejawen merupakan kepercayaan yang condongnya meyakini bahwa Kasunyatan adalah tujuan hidup dengan melewati laku-laku yang harus dijalankan, sedangkan Islam sebagai agama yang menyembah Allah S.w.t sebagai Tuhan dengan cara yang telah ditetapkan oleh syar’iat dalam al-qur’an dan sunnah.
Islam masuk ke jawa tidak lantas di bawa oleh orang arab yang notabene pada waktu itu merupakan islam yang ortodoks, melainkan masuk ke jawa melalui orang-orang persia dan india sehingga orang-orang jawa mudah menerima dengan paham mistik kejawennya. Islam yang mempunyai konsep makrifat(kasunyatan) harus melalui syari’at dan thariqot sebagai wadah agar hakikat dan makrifat tidak menyimpang, sehingga dalam hal ini integrasi keduanya menghasil-kan islam yang bersifat kejawen.
  Islam kejawen salah satunya berciri ineffability sehingga Makrifat (kasunyatan) merupakan sebuah pengetahuan yang esoterik berbeda dengan syari’at yang eksoterik. Namun di lingkungan pedalaman pulau jawa(keraton) masih menganut mistik kejawen yang dilatarbelakangi oleh pengaruh Hinduisme dan Budhisme itu hanya menggunakan islam sebagai alat untuk mencapai kasunyatan setelah dirasa telah mencapainya penganut meninggalkan islam dan tidak lagi melakukan peribadatan-peribadatan yang telah ditentukan islam lewat al-qur’an dan hadits. Perdebatan-perdebatan itu telah diceriterakan dalam suluk-suluk seperti kisah Syekh Siti Jenar yang di pancung, Sunan Panggung yang dibakar, Ki Bebeluk yang dihanyutkan  di sungai dan Amongraga yang ditenggelamkan di laut. Semua ceritera tersebut menandakan bahwa mistisisme yang bersifat esoteris ini tidak lantas disebarluaskan ke khalayak umum. Namun sifat itu dilingkungan keraton tidak akan pernah hilang hingga turun temurun akan tetap dilakukan, karena dalam lingkungan keraton hal-hal tersebut merupakan suatu hal yang sakral dan harus ada. Golongan ini dinamakan oleh Geertz dengan abangan yaitu pemeluk agama-agama yang menggunakan nilai tata cara jawa untuk mencapai kasunyatan.               Sedangkan di lain pihak salah satunya di pesisir utara mereka yang menganut agama islam, masih menggunakan syariat dan akan tetap melakukan peribadatan-peribadatan sesuai dengan syari’at islam, hal ini dikarenakan letak geografis dari pesisir utara pulau jawa merupakan tempat strategis dan banyak para pendatang yang langsung menyebarkan agama islam diwilayah tersebut, berbeda dengan pedalaman di pulau jawa yang notabene sebagai pusat keraton, sehingga masuknya islam di akulturasi dengan budaya keraton yaitu kejawen. Greetz menamakan golongan kedua sebagai golongan santri dan biasanya masyarakat pesisir utara menamakan nama anak dan keturunannya dengan nama Arab (Syamsul Bakri).
Pada mulanya golongan santri memiliki pengaruh politik yang sangat luas yang terletak di Giri kedaton dengan pimpinan ulama dari keturunan Sunan Giri, Geertz menamakannya dengan Paus of Java. Namun setelah mataram muncul, giri tidak dianggap lagi sebagai sebuah wilayah yang independen dan harus mengakui kekuasaan mataram dengan memproklamirkan gelar raja mataram dengan sebutan “sayidin panatagama kalifatullah ing tanah jawa”. Memang kekuatan antara kedua golongan tersebut sangat pengaruh dan mempengaruhi namun kadang kala membuat penyebaran kekisruhan yang meluas dalam hal politik seperti ketika Amangkurat I membantai para ulama.
 Menurut Franz Magniz perbedaan mencolok antara golongan abangan dan golongan santri mulai terjadi ketika golongan abangan yang mayoritas terdapat pada wilayah keraton dengan mistik kejawennya menggunakan kasunyatan (orang yang telah memiliki kekuatan gaib) sebagai legitimasi atas kekuasaan, dan lebih parahnya lagi ketika kekisruhan di lingkungan keraton tentang perebutan kekuasaan para pangeran-pangeran keturunan Sutawijaya memanfaatkan kekuatan belanda untuk memerangi lawannya. Hal ini mengakibatkan golongan kedua menjadi gusar atas peristiwa tersebut dan menganggap bahwa golongan abangan telah menyimpang.
    Lepas dari segala kritik yang didapat tentang pendapat Robert Jay yaitu skisma santri abangan nampak jelas terjadi. Semangat melalui struktur sosial tersebut berkembang menjadi organisasi-organisasi pergerakan pertama salah satunya Boedi oetomo yang dibentuk Wahidin Sudirohusodo, Boedi utomo berorientasi dan bertujuan memajukan cita-cita jawa pada yang berdiri pada tahun 1908 Kemudian pada tahun 1913 dibentuk Sarekat islam mewakili golongan penganut agama islam. Bahkan sampai pada Pascakolonial dalam membentuk suatu bangsa keduanya memiliki peran penting dan saling mempengaruhi, golongan abangan dengan PNI dan golongan santri dengan Masyumi. Menurut Geertz dikotomi keduanya sangat jelas terjadi salah satunya di desa Mojokuto sebagai mikrokultur tempat penelitiannya, Kedua golongan tersebut lebih membatasi diri bahkan lebih memilih jalan yang lebih jauh untuk sampai ke tujuan, daripada harus lewat di daerah yang golongan lain, bahkan pada tahun 1950 atas dasar islam yang radikal terjadi suatu penolakan terhadap terbentuknya Republik Indonesia yang baru lahir sebagai kafir, kelompok itu dibawah pimpinan Kartosuwiryo,  memulai suatu pemberontakan atas nama Darul islam walaupun bisa diredam di jawa namun ideologi itu sampai di aceh dan Sumatera Selatan(Franz Magniz Suseno: Etika Jawa).
 Apakah perpecahan itu berdasarkan pada suatu perbedaan prinsipil dalam sistem nilai atau sebagaimana dalam pendapat beberapa sosiolog islam, hanya merupakan tingkat-tingkat islamisasi yang berbeda dengan dipertajam demi alasan politik, tidak merubah kenyataan bahwa antara dua orientasi itu memang terdapat perbedaan yang nampak juga dalam kelakuan lahiriah. Kita tidak tahu sejauh mana konstatasi ini akan berlaku.


Oleh : Abdul Wahid
CO Devisi Sosial Budaya HMPS AFI IAIN Surakarta

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diskusi Online "Islam Progresif Memaknai Multireligius Di Era Post-Truth"