Kebebasan!!
Ah! Dasar Kebebasan!
Kebebasan sekarang ini menjadi permata, barang berharga yang didambakan setiap
manusia. Bagaimana manusia bisa menentukan pilihan dalam hidup jika kebebasan tidak
pernah dimilikinya.
Jika kebebasan masih saja dipenjara dalam kurungan yang bernama kejumudan.
Manusia tidak akan merdeka. Manusia tidak akan mampu untuk memproses kehidupannya
secara mandiri. Nanti orang sekampung, se-pabrik akan demo menuntut hak yang bergelar
kebebasan itu. Memang kebebasan dibutuhkan agar manusia mampu mengembangkan
potensi dirinya. Tentu orang tidak akan pernah tahu tentang keindahan dunia dan segala
isinya jika ia tidak diberikan ruang kebebasan untuk menjelajahinya.
Bertanyalah seseorang kepada temannya, “sejauh mana orang tuamu memberikan
kebebasan dalam hidupmu?”
“Orangtuaku selalu memberikan kebebasan dalam hidupku. Meskipun dalam arti yang
sempit.” Jawab temannya.
“Loh, sempit bagaimana? Atau jangan-jangan yang diberikan orangtuamu kesempitan
bukan kebebasan.”
“Ya bukan begitu, misalnya, kalau ingin makan, saya itu diberi kebebasan untuk
makan seberapa pun porsinya. Tetapi kan saya juga tidak bodoh dengan menyiksa diri makan
sepuluh piring nasi dalam sekali duduk.”
Lanjut temannya, “makanya kita disuruh puasa agar pandai untuk menahan dan
mengendalikan sesuatu. Bukan hanya soal makan dan minum. Puasa itu lebih luas
cakupannya. Dalam hal berbicara kita juga harus menerapkan filosofi puasa. Berbicara itu
baik. Tetapi akan menjadi buruk kalau tidak empan papan. Misal, kalau ada orang, mohon
maaf giginya agak offside, tentu tidak akan baik kalau kamu mengatakan hal fakta yang
sebenarnya. Juga ada saat-saat kita itu berdiri di titik lebih baik diam dan tidak menjawab
pertanyaan. Diam dan tidak menjawab itu juga bisa menjadi sebuah jawaban. Malah kalau
kita berusaha menjawab, jawaban kita tidak akan menjadi jawaban.”
“Tetapi banyak diantara kita, disekitar kita dan di sana-sana itu yang lebih memilih
melampiaskan daripada mengendalikan.”
“Ya makanya... Tuhan itu menganjurkan puasa. Apalagi puasa merupakan ibadah
intim yang hanya diketahui oleh si pelaku dan Tuhannya. Siapa yang menjamin orang yang
mengatakan bahwa ia puasa itu benar-benar berpuasa. Siapa yang tahu sekelebat mata atau
kalau ada tiba-tiba malaikat turun membawakan buah-buahan surga. Tiba-tiba orang itu
menghilang dari kerumunan lalu makan. Kita ini kan hanya sekedar huznudzon, menaruh
prasangka baik terhadap orang yang berpuasa tersebut...”
Dalam hal perpolitikan dan sistem birokrasi yang dijalankan konsep puasa seharusnya
menjadi suatu metode paling utama yang harus digunakan. Itu akan lebih menyelamatkan.
Jangan ingin menang sendiri, seolah-olah di dunia ini hanya ada dirinya saja. Lantas apapun
saja dilahap. Kalau yang diterapkan ngendon seperti itu justru ia sebenarnya memproses
kehancurkan bukan perbaikan. Memproses kemunduran bukan kemajuan. Merobohkan bukan
mendirikan. Bukan membangun peradaban melainkan merusak dan memerosotkan sebuah
peradaban.
Puasa sebenarnya dimensinya luas. Ia mampu menembus ruang dan waktu.
Menyingkap tabir-tabir yang mengaburkan pandangan. Apapun saja yang tampak buram akan
menjadi jernih. Kejernihan itu didapatkan lantaran adanya kemauan untuk mengendalikan.
Air di sungai tidak akan jernih jika tak dikendalikan oleh aliran sungai yang gerakannya
tenang. Kalau sungai hanya mementingkan diri menampung air sebanyak-banyaknya tanpa
pernah mau berusaha dialirkan tentunya air tersebut akan tergenang dan kotor. Tidak bisa
mensucikan. Keindahan sungai bukan terletak pada airnya melainkan pada alirannya.
Bayangkan kalau ada sungai kok tidak mengalir. Apa iya masih bisa disebut sungai? Kalau
Tuhan mengatakan: “.....surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” Itu mengandung
pengetahuan atau ilmu atau rahasia apa?
Terus apa hubungannya kebebasan dengan puasa?
Sebenarnya sesuatu itu tidak harus selalu saling berhubungan. Pola-pola hubungan
kan sebenarnya ciptaan, hasil ijtihad-ijtihad manusia. Akal cerdasnya manusia mampu untuk
berpikir kreatif guna menciptakan inovasi yang saling berhubungan satu sama lain. Jangan
heran juga jika ada hal yang sama sekali tidak berhubungan tetapi tetap saja dihubungkan.
Kepandaian manusia bisa melebihi kecanggihan teknologi paling modern saat ini. Asal-usul
robot itu kan juga dari tangan-tangan gathik manusia.
Kembali ke hubungan puasa dengan kebebasan.
Apa hubungannya? Bukannya keduanya adalah dua sisi yang saling bertentangan?
Jawabannya bisa iya dan tidak. Puasa adalah suatu prinsip nilai tentang pengendalian diri.
Pengendalian itu penting dalam menghadapi segala persoalan kehidupan. Orang tidak
mungkin melampiaskan segala permasalahan rumit dengan menggorok lehernya sendiri.
Kalau naik motor yang menyelamatkan itu bukan kepandaian kita dalam nge-gas, menambah
kecepatan. Melainkan karena keprigelan kita dalam menginjak rem di saat-saat genting.
Esensi dari makna kebebasan terletak atau tersembunyi di dalam kandungan arti
pengendalian. Sejauh mana ia mampu memahami arti pengendalian sejauh itulah ia akan tahu
makna kebebasan yang sebenarnya. Sebab kalau ada kebebasan tetapi tak terkendali namanya
bukan kebebasan lagi. Itu adalah sebuah kebodohan atau semacam ketololan.
Kemerdekaan itu maknanya bukanlah melampiaskan kebebasan-kebebasan yang kita
dapatkan tanpa adanya pengendalian. Kebebasan yang tanpa pengendalian itu nanti malah
akan membuat kita masuk ke dalam jurang kehancuran. Lihat fenomena sekarang ini, orang
diberi kebebasan justru malah nranyak, tidak tahu diri, dan berlaku semena-mena. Katanya:
membela keadilan dan kebenaran, tetapi yang dilakukan mengkhianati makna keadilan dan
kebenaran itu sendiri. Hal tersebut terjadi karena kita belum membekali diri dengan arti dari
pengendalian yang sebenarnya sebelum siap untuk untuk mendapatkan kebebasan. Jangan
meminta pisau kalau belum tahu cara menggunakannya. Kalau nanti pisau itu digunakan
untuk menusuk tubuhmu, lantas yang divonis pisaunya. Padahal pisau tidak salah sekali.
Kemudian pisau dilarang penggunaanya. Nanti bila ibu-ibu mau mengiris brambang biar
dengan golok atau gergaji.
Ah tapi orang kan lebih senang memilih makan daripada puasa. Toh kalaupun puasa
tetap saja buka-nya dengan makan sepuas-puasnya. Namanya juga kebebasan, “Ah! Dasar
kebebasan!”.
By; Ahmad Miftahudin Tohari
Mahasiswa Filsafat Uin Raden Mas Said
Komentar
Posting Komentar